Rima pandai bernyanyi. Suaranya merdu sekali. Ia juga sangat ramah di sekolah. Anak itu mengajarkan teman-temannya bernyanyi lagu daerah yang sulit. Lina yang pandai membuat kreativitas, memberikan gelang dari tali sebagai hadiah.
Akan tetapi, anak perempuan berambut sebahu itu jarang berkumpul saat kerja kelompok di hari Minggu. Ada saja alasannya.
"Maaf, aku gak bisa, ada perlu," ucapnya mengelak. Atau "Nanti saja, ya," tolaknya sambil tersenyum.
Awalnya teman-teman memaklumi, tetapi lama-kelamaan mereka mulai sebal.
"Sombong sekali si Rima! Enggak mau bermain sama kita." Siti mulai mengomel sambil menghabiskan sisa keripik singkong di stoples.
"Iya, mentang-mentang anak orang kaya, enggak mau belajar di rumahku," ujar Eli menambahi.
"Sudah-sudah …." Lina menengahi teman-temannya agar tak menghakimi Rima. "Mungkin saja Rima sibuk, jadi dia enggak bisa kumpul sama kita."
Setelah selesai belajar kelompok, mereka pulang ke rumah masing-masing. Lina dijemput kakaknya naik motor. Di tengah perjalanan, ia melihat Rima. Anak itu keluar dari gereja dan naik mobil bersama keluarganya.
"Oh, jadi kalau hari Minggu, Rima itu beribadah. Kenapa enggak bilang terus terang, ya?" gumam Lina heran.
Esoknya, Lina memberitahu ke teman-temannya. Mereka pun memaklumi dan malu karena telah salah sangka. Sepertinya, Rima malu karena satu-satunya yang beda agama. Namun, hari ini mereka tidak melihat anak itu. "Ke mana Rima?" kata mereka bertanya-tanya.
Saat pelajaran dimulai. Pintu pun diketuk. Tampak wajah Rima murung. Rupanya, ia hendak mengucapkan salam perpisahan. Ayahnya pindah bekerja ke luar pulau dan keluarganya ikut serta.
"Terima kasih, aku senang bersekolah di sini dan punya teman-teman yang baik," ungkap Rima.
Semua temannya sedih. Mereka tidak akan bertemu lagi dengan Rima yang pandai bernyanyi. Namun, mereka berjanji untuk tidak saling melupakan dan akan saling berkirim surat. Apalagi, Rima masih memakai gelang persahabatan buatan Lina.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar