Kamis, 15 Desember 2022

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.3



PEMIKIRAN REFLEKTIF , ANALISIS UNTUK IMPLEMENTASI, DAN KETERKAITAN DALAM MODUL 2 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK




Materi Pendidikan Guru Penggerak pada Paket Modul 2 tentang Praktik Pembelajaran yang Berpihak Pada Murid, terdiri dari tiga modul, yakni Pembelajaran berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, serta Coaching untuk Supervisi Akademik.

Pembelajaran berdiferensiasi pada Modul 2.1 mengupas tentang pembelajaran yang mengakomodasi setiap kebutuhan individu murid berdasarkan kesiapan belajar, minat, serta profil belajar murid dengan strategi penerapan diferensiasi konten, proses dan produk.

Pembelajaran Sosial Emosional di Modul 2.2 merupakan penerapan konsep pembelajaran berdasarkan CASEL (Collaborative for Academic, Social and Emotional Learning) untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman agar seluruh individu di sekolah dapatmeningkatkan kompetensi akademik dan kesejahteraan psikologis (well-being)secara optimal.

Sementara itu, Coaching Supervisi Akademik di modul 2.3 menjelaskan bagaimana konsep coaching dalam dunia pendidikan bertujuan sebagai pendekatan pengembangan potensi orang lain melalui komunikasi yang memberdayakan.

Beberapa materi inti dalam Coaching Supervisi Akademik antara lain pengertian coaching menurut International Coach Federation bahwa coaching sebagai “...bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.” Coaching sendiri berbeda dengan pengembangan diri lainnya, yaitu mentoring,konseling, fasilitasi, dan training.

Selain itu, terdapat paradigma coaching, yakni 1) Fokus pada coachee/rekan yang akan dikembangkan, 2) Bersikap terbuka dan ingin tahu, 3)Memiliki kesadaran diri yang kuat, 4) Mampu melihat peluang baru dan masa depan. Prinsip-prinsip coaching (kemitraan, proses kreatif, memaksimalkan potensi), melakukan percakapan coaching dengan alur TIRTA (Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, Tanggung Jawab), selanjutnya mempraktikkan tiga kompetensi inti coaching: coaching presence, mendengar aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot dalam percakapan coaching. Menjelaskan jalannya percakapan coaching untuk membuat rencana, melakukan refleksi, memecahkan masalah, dan melakukan kalibrasi.

Ternyata, proses coaching juga bisa dilakukan sebagai komunikasi pembelajaran antara guru dan murid. Padahal sebelumnya saya berpikir bahwa proses coach itu untuk orang dewasa saja. Akan tetapi hal itu tidak benar. Di sini murid juga diberikan ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan peran pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan memaksimalkan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.

Antara ketiga modul ini terlihat jelas berkaitan erat yakni pada bagian praktik pembelajaran yang berpihak pada murid. Sebagai seorang coach di sekolah, saya bisa melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi dengan memaksimalkan potensi murid dan menggali kreativitas mereka. Saya juga bisa menerapkan pembelajaran sosial emosional pada murid, maupun kompetensi sosial emosional pada rekan sejawat.


Emosi yang Saya Rasakan

Proses pembelajaran di modul dua ini membuat saya merasakan semangat baru. Materi pembelajaran berdiferensiasi serta pembelajaran sosial emosional memamng dibutuhkan dan dipraktikan langsung ke murid. Awalnya saya menganggap biasa saja karena pembelajaran tersebut sudah dilakukan di sekolah dan diterapkan. Akan tetapi, ternyata banyak hal baru yang dapat memperdalam materi dan pengalaman dalam mengajar di kelas. 

Hasil diskusi dengan rekan sejawat atau sesama CGP di sekolah khusus, terkadang membuat emosi dan tidak sabar untuk membuktikan bahwa kami yang di sekolah berkebutuhan khusus juga mampu mempraktikannya. Karena saya teringat kembali saat Narasumber Pak Rudi saat sesi Elaborasi 2.1, bahwa sebenarnya sekolah umum yang mengacu ke sekolah khusus dalam pembelajaran berdasarkan keragaman dan kebutuhan individu murid.

Hal itu bisa saya jelaskan juga ketika melakukan aksi nyata dalam pembelajaran berdiferensiasi, serta pembelajaran sosial emosional di kelas. Anak-anak usia taman kanak-kanak yang mengalami hambatan intelektual, terlihat sangat senang saat diajak untuk bereksplorasi dalam kelompok saat pembelajaran berdiferensiasi serta mengekspresikannya dalam karya sesuai pilihan mereka. Guru lebih memahami anak saat pembelajaran sosial emosional dalam mengenal emosi dan berbagi dengan temannya.




Hal yang Sudah Baik dan Hal yang Perlu Ditingkatkan

Hal baik yang saya dapatkan selain menambah wawasan baru adalah untuk tidak cepat meremehkan sesuatu atau sebaliknya, menganggap sesuatu itu sulit padahal belum dipraktikkan dan digali lebih jauh lagi. Selain itu, yang saya ingat dari fasilitator yang selalu mengingatkan bahwa mengikuti pelatihan dalam pendidikan guru penggerak bukan hanya menuntaskan modul, tetapi bagaimana kita dapat menerapkannya dalam lingkungan sekolah.

Ke depannya, saya akan terus melakukan perbaikan, menggali materi dan menerapkannya sebagai langkah awal, kenudian berbagi praktik baik dengan guru-guru lain. Mereka sangat senang bisa menerima praktik baik dan beberapa sudah menerapkannya dalam kelas masing-masing.

Selain itu, saya sendiri belum menerapkan praktik coach ke murid. Seperti pada praktik segitiga restitusi sebelumnya di Modul 1.3, dalam tantangan ini saya akan menerapkan praktik coach ke murid khusus dari jenjang SMP atau SMA, dengan tingkat hambatan sedang atau ringan, atau tidak memiliki hambatan intelektual, agar komunikasi bisa berjalan, dan praktik yang diharapkan bisa tercapai optimal. Hal ini dikarenakan saya sendiri mengajar pada jenjang TKKh (Taman kanak-Kanak Khusus) yang muridnya masih membutuhkan stimulasi untuk berbicara/berkomunikas serta berinteraksi dengan orang lain.


Keterkaitan Kompetensi dan Kematangan Pribadi

Berdasarkan bahan refleksi sebelumnya serta masukan dari teman sejawat serta pendampingan dengan pengajar praktik, saya juga perlu meningkatkan kemampuan atau kompetensi dalam berkomunikasi dan berkolaborasi dengan guru lain. Apalagi, di sekolah saya sendiri terdapat tiga calon guru penggerak. Hal ini merupakan kekuatan yang bisa dilakukan bersama-sama untuk saling berbagi dalam memajukan sekolah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar